Rabu, 16 Mei 2018

Kenapa Jarang Pulang? Genap 7 Tahun Ramadhan Tidak di Rumah



Sudah lama rasanya. Ah, kurindu. Aku memang selalu merindukan Rumah. Kapanpun dimanapun, tak ada kata yang bisa menggambarkan Rumah. Kata apapun yang baik untuk Rumah, itu selalu pantas diungkapkan. Ternyaman, terindah, terenak, terbaik, surgaku, duniaku, masa kecilku, ah, apapun itu.

Sudah lama rasanya tak menginjakkan kaki dirumah Sejak September 2017 lalu. Bahkan sampai sekarang ku tak pernah lupa setiap detail rumahku (yaiyalah aing oge imah sendiri mah inget, kata kamu). Warna lantainya, wangi harumnya, lampu-lampu aneh dan indah yang menempel diatap, dinding temboknya yang khas berwarna kuning cerah matahari, atap yang teduh dengan warna soft pink, pintu-pintu dengan cat biru pink hijau. Ah, kalian pasti tidak bisa membayangkan, kenapa rumahku warna-warni sekali ya? Hehehe

Apalagi sekarang awal masuk bulan Ramadhan. Hari pertama Puasa. Ah, aku bahkan masih asik dengan duniaku, deengan seluruh aktivitas dan keseharianku. Kamu tau?  Aku ingat betul hal apa yang selalu dilakukan ketika Ramadhan tiba. Ah sial, Aku benar-benar rindu sekarang. Sahur pertama biasanya terdengar suara Ibu memasak didapur, suara Bapak tertawa atau hanya sekedar mengomentari isu-isu melihat tontonan televisi, ruang makan dengan meja bundar, dapur yang dipenuhi wangi bumbu maskaan, adek Hakim yang udah nangis bangun minta susu, atau suara Akbar dan Latief yang dibangunkan sambil ngomel-ngomel hehe. (beda banget sama sahur aku dikosan tadi pagi, dan sedih kalo diceritain mah huhu, cuma saur makan bertiga sama Ghinaa dan Aliansi, dan itu sepii krik kriikk)

Aaaah... semua aktivitas itu... aku rinduuu dan ingin datang. Kalian pasti kesal ya, Aku selalu bilang Rindu mulu tapi ga pernah pulang. Hmm oke baiklah, maafkan aku yang pertama, kedua, akan kujelaskan mengapa aku tidak pulang, yang ketiga, ya aku ingin aja hehe.


Ada beberapa alasan mungkin kenapa aku memutuskan untuk jarang pulang. Selama di Bandung, paling hanya pulang setiap (satu semester satu kali). Jadi bisa disimpulkan, selama setahun Hani paling pulang cuma dua kali hehe. Pernah siih beberapa kali pulang lebih dari dua kali dalam setahun, nah, berarti memang ada hal urgent yang harus dilakukan dan harus kudu wajib pulang kerumah hehe.

Padahal jarak Serang-Bandung gak jauh-jauh amat Han, 7 Jam juga nyampe. Eh ke rumah aku mah kadang bisa sampe 10 jam taauu  sad. pernah berangkat keluar kosan jam 10 pagi, dan nginjekin kaki nyampe rumah jam 8 malem laaah. Parah kan? Hmmmm

Oke balik lagi, kenapa Hani jarang pulang? pertama, dari semenjak SMA dulu kan Boarding School tuh selama 3 tahun, disini aku diajarin buat tahan banting biar gak jadi anak manja. Sering banget bahkan engga pernah banget awal Ramadhan bisa pulang. Susah izin, alhasil, yaudah 3 tahun berturut-turut Ramadhan pertama selalu diasrama dan pulang paling beberapa hari mau lebaran hmm.

Nah, lanjut pas kuliah (sampe sekarang juga masih kuliah ketang hehe). mungkin karena udah kebiasaan kali yah, sampe akhirnya aku bener-bener menyibukkan diri sama aktivitas-aktivitas biar bisa nunjang kegiatan aku (soalnya aku orangnya susah diem hehe) jadi we, jarang pulang juga. Eh, tapi tenang, komunikasi sama orangtua? Aman kok. aman banget hehe

Selain dari faktor kebiasaan, ada hal lain juga yang nyebabin Hani jarang pulang. Tapi, dari sini Hani juga belajar banyak. belajar menghargai waktu, tanggungjawab, dan kewajiban. kewajibannya belum boleh pulang, yaudah jangan pulang dulu, tanggungjawabnya masih belum rampung, yaudah rampungin dulu. Dari dulu selalu pegang prinsip itu,  karena Hani dulu ikut bebebrapa organisasi di intra dan ekstra kampus, jadi beberapa waktunya kadang Hani pake buat ngeberesin tugas-tugas kewajiban, tangungjawab yang Hani pegang di-organisasi tersebut.

Emang gak kangen Rumah? jawabannya, siapa sih yang gak kangen orangtua, siapa sih yang gak sayang, siapa sih yang gak mau pulang? sama kok aku juga manusia biasa kaya kalian, kangen sayang rindu ah semuanya. Tapi ya itu, balik lagi sih ke prinsip awal tadi, kalau belum beres pekerjaan dan segala tetek bengek dan lain lain kenapa harus terburu-buru pulang? nanti malah gak enak hati ketika belum beres semua kewajiban dan tanggung jawab, nanti malah kepikiran hehe. bahkan tahun 2017 lalu, aku juga pulang H-1 Lebaran gara-gara harus nunaikan kewajiban Magang disalah satu Media Cetak Nasional sama 3 anak lainnya (Sausan, Asol, Dian). ya kan San, Sol, Cil? ah jadi kangen magang wkwkw

Ah udahlah segini aja, tapi intinya yah buat anak rantau nih, kalo emang temen-temen punya lebih banyak waktu longgar dan tidak ada kewajiban atau urusan apapun, mending pulang aja deh aku saranin. Jangan ikutin aku hehe, sapa orangtua dirumah, dari pada ngabisin duit dikosan aja ga ngapa-ngapain kan yak? mending pulang lah yaa hehee setuju gak? hehe

udah dulu ya, nanti ceritanya dilanjut lagi hehe. see :) selamat menjalankan puasa Ramadhan 1439 H yaaa







Jumat, 04 Mei 2018

Saya Hanya Menunggu Keajaiban

Menjejaki perkampungan kumuh disalah satu daerah di Kota Bandung. Beberapa sorot mata memandang satu persatu dari kami, yang berseragam, ber name-tag serta dimasing masing tangan membawa satu dua buah kamera dan tripod yang digotong oleh salah satu rombongan.

Melangkah menelusuri, satu dua kali bertemu salah satu penduduk atau warga asli kampung, tak ubahnya menjaga sopan santun dan tatakrama, kami semua selalu berkata -punten- ketika melewati satu dua orang yang entah sedang duduk atau hanya sekdar lewat. Yang kemudian, dibalas dengan kata -mangga-.

Semakin jauh. Jalan-jalan tikus yang entah sampai saat ini saja aku bahkan tak bisa menghafalnya, karena memang susah. Berbelok-belok dan sempit sekali membuatku tak bisa mengingat.

Disambut ramah oleh salah satu ketua RT dan RW didaerah tersebut, kami berlanjut menuju tempat tujuan.

Suara uap kereta api terdengar jelas dari tempatku dan beberapa rekanku berpijak. Memang, tempatnya dipinggir rel kereta api. Sorak sorai anak-anak kampung bermain layang-layang dan beberapa permainan tradisional (yang mungkin sekarang udah jarang sekali ditemui). Tapi, dikampung ini, didekat rel kereta ini, kita bisa melihat jelas masa-masa kecil yang pernah kita rasain dulu.

Tibalah pada sebuah rumah petak yang begitu sempit. Bahkan menurutku, itu bukan rumah. Tapi (maaf) lebih seperti tempat rongsokan atau lebih kasarnya tempat pembuangan sampah dan penyimpan barang-barang bekas. Disuguhi tumpukan helm yang menumpuk dan berserakan, serta barang-barang tak terpakai dan tak layak pakai, banyak ditemui diselasar rumah petak ini.

Miris. Kondisi yang seperti itu menurutku bahkan jauh dari kata layak. Sampah dimana mana, tumpukan baju (entahlah itu baju apa) yang pasti aku lihat baju-baju itu dibiarkan menumpuk dan beberapa diantaranya digantung didalam dan diluar rumah.

Itulah kediaman salah satu anak penederita gagal ginjal. Kiki (16) hidup sebagai anak piatu dan tiggal bersama Ayah yang seorang diri merawat dan membesarkan Kiki dengan sepenuh hati.

Kutelusuri satu demi satu tempat yang kataku tak layak dikatakan rumah. Hatiku tergugah, sungguh, aku bahkan tak bisa menahan tangis yang pecah ketika diriku mendapati kiki terbaring lemas dikasur lusuh sambil memainkan tangannya dan berkata "Ya" dan sedikit megulurkan tanganya untuk menyambutku bersalaman, dan kemudian ku pegang erat-erat.

Tangisku semakin menjadi ketika salah satu dari rekanku menghampiriku dan melihat langsung keadaan kamar yang begitu memprihatinkan. Seakan aku menunjukan padanya dan berkata, "coba liat sendiri, apa kamu gak ngerasa iba tuh ngeliat kondisi kaya gitu"


Ku jelaskan, rumah itu sungguh sangat sempit dari yang kukira. Aku saja bahkan harus bergantian melihat dengan rekanku. Kondisinya sangat sumpek. Hanya ada tumukan-tumpukan baju tak terpakai dan beberapa helm bekas yan terpampang jelas didinding-dindingnya. Ditemani satu buah kasur lusuh, yang bahkan apabila digunakan, seperti halnya tidur dilantai. Itu bukan kasur menurutku. Seperti hanya sebuah alas.

Kiki terbaring diatas kasur ditemani suara dan tampilan televisi jadul film kartun spongebob. Matanya sesakali bergantian melihatku dan melihat layar televisi. Begitu semangat. Ketika kutanya, Kiki minum teh? Iya hanya menjawab Ya. Kubertanya lagi, Kiki udah makan? Ia berkata -belum, dengan nada yang tak begitu jelas

Ah sungguh tak terkira sedihnya diriku. Melihat kondisi yang tak pernah kulihat sebelumnya. Seakan menampar diriku yang setiap harinya bahkan hanya bisa mengeluh, mengeluh dan mengeluh. Sudahlah, sampai saat ini saja aku masih kepikiran akan hal itu. Sudah sudah kembali ke topik lain.

Lanjut Kiki, Ia merupakan anak salah seorang penduduk dikampung tersebut. Ayahnya hanya bekerja sebagai seorang pemulung dan ia saat ini sedang berjuang melawan penyakitnya. Ya, gagal ginjal. Setiap minggunya, Kiki bahkan harus cuci darah dan bolak balik rumah sakit untuk kesembuhan kiki.

Berbekal sepedah berwarna merah muda, dengan keranjang didepan dan bankgu boncengan dibelakang untuk duduk cukup satu penumpang. Setiap harinya bahkan, Ayah Kiki selalu membawa Kiki menggunakan Sepeda tersebut dengan jarak tempuh cukup jauh. Bayangkan, setiap hari. Ayah kiki bekerja membawa Kiki yang dibonceng dengan sepedah yang katanya hasil pemberian salah satu orang tak dikenal dipinggir jalan yang Ia temui bebrapa pekan lalu. Ah, sudahlah aku cukup sedih mendengar cerita ini.

Bersambung~~~

Kuliah pusing, kerja pusing, pengen nikah aja. Eh, pas nikah pusing juga, pengen nikah lagi?

Banyak anak-anak muda zaman sekarang yang menganggap bahwa pernikahan adalah salah satu solusi tepat dan cepat untuk menyelesaikan sebu...