Jumat, 04 Mei 2018

Saya Hanya Menunggu Keajaiban

Menjejaki perkampungan kumuh disalah satu daerah di Kota Bandung. Beberapa sorot mata memandang satu persatu dari kami, yang berseragam, ber name-tag serta dimasing masing tangan membawa satu dua buah kamera dan tripod yang digotong oleh salah satu rombongan.

Melangkah menelusuri, satu dua kali bertemu salah satu penduduk atau warga asli kampung, tak ubahnya menjaga sopan santun dan tatakrama, kami semua selalu berkata -punten- ketika melewati satu dua orang yang entah sedang duduk atau hanya sekdar lewat. Yang kemudian, dibalas dengan kata -mangga-.

Semakin jauh. Jalan-jalan tikus yang entah sampai saat ini saja aku bahkan tak bisa menghafalnya, karena memang susah. Berbelok-belok dan sempit sekali membuatku tak bisa mengingat.

Disambut ramah oleh salah satu ketua RT dan RW didaerah tersebut, kami berlanjut menuju tempat tujuan.

Suara uap kereta api terdengar jelas dari tempatku dan beberapa rekanku berpijak. Memang, tempatnya dipinggir rel kereta api. Sorak sorai anak-anak kampung bermain layang-layang dan beberapa permainan tradisional (yang mungkin sekarang udah jarang sekali ditemui). Tapi, dikampung ini, didekat rel kereta ini, kita bisa melihat jelas masa-masa kecil yang pernah kita rasain dulu.

Tibalah pada sebuah rumah petak yang begitu sempit. Bahkan menurutku, itu bukan rumah. Tapi (maaf) lebih seperti tempat rongsokan atau lebih kasarnya tempat pembuangan sampah dan penyimpan barang-barang bekas. Disuguhi tumpukan helm yang menumpuk dan berserakan, serta barang-barang tak terpakai dan tak layak pakai, banyak ditemui diselasar rumah petak ini.

Miris. Kondisi yang seperti itu menurutku bahkan jauh dari kata layak. Sampah dimana mana, tumpukan baju (entahlah itu baju apa) yang pasti aku lihat baju-baju itu dibiarkan menumpuk dan beberapa diantaranya digantung didalam dan diluar rumah.

Itulah kediaman salah satu anak penederita gagal ginjal. Kiki (16) hidup sebagai anak piatu dan tiggal bersama Ayah yang seorang diri merawat dan membesarkan Kiki dengan sepenuh hati.

Kutelusuri satu demi satu tempat yang kataku tak layak dikatakan rumah. Hatiku tergugah, sungguh, aku bahkan tak bisa menahan tangis yang pecah ketika diriku mendapati kiki terbaring lemas dikasur lusuh sambil memainkan tangannya dan berkata "Ya" dan sedikit megulurkan tanganya untuk menyambutku bersalaman, dan kemudian ku pegang erat-erat.

Tangisku semakin menjadi ketika salah satu dari rekanku menghampiriku dan melihat langsung keadaan kamar yang begitu memprihatinkan. Seakan aku menunjukan padanya dan berkata, "coba liat sendiri, apa kamu gak ngerasa iba tuh ngeliat kondisi kaya gitu"


Ku jelaskan, rumah itu sungguh sangat sempit dari yang kukira. Aku saja bahkan harus bergantian melihat dengan rekanku. Kondisinya sangat sumpek. Hanya ada tumukan-tumpukan baju tak terpakai dan beberapa helm bekas yan terpampang jelas didinding-dindingnya. Ditemani satu buah kasur lusuh, yang bahkan apabila digunakan, seperti halnya tidur dilantai. Itu bukan kasur menurutku. Seperti hanya sebuah alas.

Kiki terbaring diatas kasur ditemani suara dan tampilan televisi jadul film kartun spongebob. Matanya sesakali bergantian melihatku dan melihat layar televisi. Begitu semangat. Ketika kutanya, Kiki minum teh? Iya hanya menjawab Ya. Kubertanya lagi, Kiki udah makan? Ia berkata -belum, dengan nada yang tak begitu jelas

Ah sungguh tak terkira sedihnya diriku. Melihat kondisi yang tak pernah kulihat sebelumnya. Seakan menampar diriku yang setiap harinya bahkan hanya bisa mengeluh, mengeluh dan mengeluh. Sudahlah, sampai saat ini saja aku masih kepikiran akan hal itu. Sudah sudah kembali ke topik lain.

Lanjut Kiki, Ia merupakan anak salah seorang penduduk dikampung tersebut. Ayahnya hanya bekerja sebagai seorang pemulung dan ia saat ini sedang berjuang melawan penyakitnya. Ya, gagal ginjal. Setiap minggunya, Kiki bahkan harus cuci darah dan bolak balik rumah sakit untuk kesembuhan kiki.

Berbekal sepedah berwarna merah muda, dengan keranjang didepan dan bankgu boncengan dibelakang untuk duduk cukup satu penumpang. Setiap harinya bahkan, Ayah Kiki selalu membawa Kiki menggunakan Sepeda tersebut dengan jarak tempuh cukup jauh. Bayangkan, setiap hari. Ayah kiki bekerja membawa Kiki yang dibonceng dengan sepedah yang katanya hasil pemberian salah satu orang tak dikenal dipinggir jalan yang Ia temui bebrapa pekan lalu. Ah, sudahlah aku cukup sedih mendengar cerita ini.

Bersambung~~~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kuliah pusing, kerja pusing, pengen nikah aja. Eh, pas nikah pusing juga, pengen nikah lagi?

Banyak anak-anak muda zaman sekarang yang menganggap bahwa pernikahan adalah salah satu solusi tepat dan cepat untuk menyelesaikan sebu...