Jumat, 02 Oktober 2015

MALEO ~ cerpen


Pagi – siang – malam lalu kembali lagi menjadi pagi. Perputaran waktu kian hari kian cepat. Cerah – terik – berawan – hujan, alam pun turut serta memainkan perannya. Lelaki gempal itu melihat kalender, terfokus pada lingkaran merah. Waktunya semakin dekat, tapi ia belum mempersiapkan apa – apa.
            “Hei Maleo, cepatlah kau kesini! Tak tahu pula aku sibuk hah ? Kau malah berdiri cengo disana”
            Seperti terlemparkan ke alam sadar, ia beringsut dan segera menghampiri sumber suara.
            “Jangan pakai teriak, kupingku ini masih berfungsi normal”
            “Beraninya kau. Hah sudahlah, ini, jajakkan belalang ini di pinggir jalan di depan sana. Kalau sudah habis, bolehlah kau pulang.”
            Maleo mencibir dan meniggalkannya sendiri.

*          *          *

            Matahari sudah di atas ubun-ubun. Ini sudah setengah hari, dan seperempat hari sudah ia menjajakkan sate belalangnya, tapi sate – satenya pun belum setengahnya habis. Ia mengelap peluh keringat di wajah, leher dan lengannya. Terik ini benar- benar telah menghajarnya habis – habisan.
            “Mas satu tusuk sate ini berapa ya ?”
            “Dua ribu rupiah aja bu”
            “Saya beli 20 ya, tolong di bungkus. Ini uangnya”
            “Ini bu, terimakasih”
            Ia memperhatikan ibu tersebut. Pakaiannya necis, dari penampilannya sudah dipastikan ibu tersebut termasuk golongan borju. Ia mematut dirinya, membandingkan dan membayangkan. Kenapa cepat sekali orang kaya itu bertambah kaya, tapi dirinya berusah bertahun – tahun pun belum mendapat apa yang diinginkan.
            Maleo memutuskan untuk memindahkan tempat jualannya. Melirik dagangannya yang sudah pasti tinggal setengah karena diborong ibu tadi. Ia mengelap peluh keringat di wajah, leher dan lengannya lagi.
            Tiba-tiba matanya tertuju pada sesosok kakek tua renta yang mengemis kasih di perempatan jalan. Huh, enak sekali dia, hanya pasang muka melas sudah dapat uang, gumamnya.
            “Maka kau jangan mengejar bayang semu. Hai anak muda, tahu makna namamu pun tidak, bagaimana hidupnya”
            Maleo terkaget. Ia memalingkan wajahnya, seorang nenek tua tengah menatapnya dan tersenyum kepadanya. Hah, apa aku gila, sejak kapan dia disitu?
            “Gila ?” nenek itu terbahak, “Hei anak muda, kau malah berfikir kau ini gila. Aku ini memang sudah dari tadi duduk disini, bahkan sebelum kau belajar berjalan pun aku sudah disini”
            Maleo mengernyit tidak mengerti. Ia memperhatikan nenek tua itu, rambut putih disanggul, kebaya, sirih, ia jadi merinding sendiri melihatnya. Ia lalu kembali melanjutkan jualannya, berfikir bahwa nenek itu gila.
            Tak lama seorang bapak memborong seluruh belalangnya tanpa terkecuali. Maleo senang bukan main. Ia segera merapihkan barangnya dan bergegas pulang. Diliriknya nenek tua itu, ia masih disana menatapnya. Di tengah kesibukannya, ia tidak tahu nenek itu menghampirinya dan menepuk pundaknya.
            “Maleo. Kau sadar kau ini perantau dan menghabiskan waktu tidak sesuai roda kehidupan. Kau ini seharusnya sudah di atas, tapi kau menunggu untuk di jemput. Takdir itu tidak seperti itu nak, berfikirlah lebih jernih dan siapkan dirimu.”

*          *          *

            “Lalu apa yang dilakukan Maleo setelah  itu ayah ?” Melati-ku membulatkan matanya
            “Hmm, setelah Maleo bertemu nenek misterius itu, ia segera memikirkan kalimat nenek itu. Setiap hari, sebelum tidur. Ia benar-benar tidak mengerti apa maksud ucapan nenek itu.
            Lingkaran merah di kalender itu adalah tes kerja di salah satu perusahaan asing. Ia akhirnya diterima sebagai office boy, tapi Tuhan menakdirkan lain. Sebulan kemudian perusahaan itu bangkrut. Perusahaan itu terpaksa ditutup dan membuat ribuan karyawan terlantar. Tapi ia tidak memberitahukan hal ini kepada pamannya.
            Suatu sore ketika ia tengah asyik menangkap belalang, ekor matanya menangkap suatu yang amat berkilau. Amat sangat berkilau. Hari itu, langit memilihnya untuk menemukan sebongkah emas. Hei, betapa beruntungnya dia, betul kan ?”
            Melati mengangguk. Aku menghela nafas.
            “Ia tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia segera membawanya pulang, memperlihatkan kepada pamannya. Betapa mereka senang bukan kepalang. Ia menjual emas itu, lalu hasilnya ia jadikan usaha penangkaran belalang. Sebulan, dua bulan, usaha mereka melejit. Wuss, seperti roket.”
            “Ah, ayah, tapi itu hal biasa kan ? Seorang miskin yang mendapat keberuntungan”
            “Kau belum tahu kelebihannya. Melati, dia adalah yatim piatu dengan fisik yang serba kekurangan. Duduk di kursi roda, dengan tangan yang tidak sempurna. Jangan lupakan badannya yang gempal”
            “Sepertinya aku tahu Maleo siapa”
            “Betul sayang, Maleo adalah Paman Leo. Pastinya kau ingat, dia sering membawakanmu boneka kan ? Sekarang usahanya sudah terkenal di mancanegara. Dan ia sangat berterima kasih kepada nenek misterius yang sampai saat ini belum diketahui keberadaannya.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kuliah pusing, kerja pusing, pengen nikah aja. Eh, pas nikah pusing juga, pengen nikah lagi?

Banyak anak-anak muda zaman sekarang yang menganggap bahwa pernikahan adalah salah satu solusi tepat dan cepat untuk menyelesaikan sebu...