Lomba
Penulisan Artikel
Oleh : Siti Hanifah Abdillah
JURNALISTIK 2D
Dalam
dunia modern kehidupan masyarakat tidak lagi dapat dipisahkan dari jurnalistik
dan pers. Secara ekstrem para ahli jurnalistik menyamakan pers dengan udara
yang dibutuhkan manusia untuk hidup. Manusia modern tidak lagi dapat hidup
tanpa mendapatkan suguhan pers, yang memenuhi kebutuhan masyarakat akan
informasi (H. Assegaff, 1991: 9).
Istilah “pers” berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa
Inggris berarti press. Secara harfiah, pers berarti cetak dan secara maknawiah
berarti penyiaran secara tercetak. Dalam perkembangannya pers mempunyai dua
pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit.
Dalam pengertian luas, pers mencakup semua media komunikasi massa, seperti
radio, televisi, dan film yang berfungsi memancarkan/ menyebarkan informasi,
berita, gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada
orang lain. Maka dikenal adanya istilah jurnalistik radio, jurnalistik
televisi, jurnalistik pers. Dalam pengertian sempit, pers hanya digolongkan
produk-produk penerbitan yang melewati proses percetakan, seperti surat kabar
harian, majalah mingguan, majalah tengah bulanan dan sebagainya yang dikenal
sebagai media cetak.
Pers Islam
sebagai media dakwah, tentunya tidak dibatasi pada sisi kepentingan semata. Mengingat
banyaknya lapisan kultur, budaya dan agama di Indonesia, maka Pers Islam
cenderung menyesuaikan dengan pasarnya. Dewasa ini belum terlihat Pers Islam
yang benar-benar mencerminkan nilai Islam secara penuh, baik dari kemasan
maupun isinya.
Terlepas
dari kemasan ataupun tampilan, keberadaan pers Islam sebagai media dakwah
sedikit banyaknya telah berperan aktif dalam pembentukan karakter bangsa
Indonesia. Dan pers Islam disini bukan hanya dilakukan oleh orang-orang yang
semata-mata memang berhaluan kesana, misalnya pesantren, ulama, dan sebagainya.
Namun, kini banyak orang atau lembaga yang tidak terlalu fokuspun banyak yang
menerbitkan yang namanya pers Islam. Tinggal disini kita harus membatasi, mana
yang memang membawa kepentingan umat Islam dan mana yang tidak. Dalam arti,
menghindari pers Islam yang hanya berorientasi pada kepentingan bisnis dan
pasar semata.
Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Litbang Republika dan The Asia Foundation
tentang Islam and Civil Society, dengan tema khusus “Pers Islam dan Negara Orde
Baru”, mendefinisikan pers Islam sebagai: “Pers yang dalam kegiatan
jurnalistiknya melayani kepentingan umat Islam, baik yang berupa materi
(misalnya kepentingan politik) maupun nilai-nilai”.
Pers
Islam, sebagai bagian dari pers pribumi yang bertujuan menyebarkan semangat
kebangsaan dan cita-cita kemerdekaan, awalnya tampak sebagai media “partisan”,
karena kecenderungan untuk menyebarkan ideologi kelompok penerbitnya. Namun
setelah pintu reformasi terbuka pada akhir 1997 dan berkembang era 1998
keberadaan pers Islam semakin luas, baik itu sebagai media dakwah maupun
sebagai wadah perlawanan rezim. Dan hal inilah yang menjadi pemicu dari semakin
berkembangnya pers Islam di Indonesia.
Dewasa ini
pers islam di Indonesia mulai mengalami perkembangan yang cukup pesat. Ini
ditandai dengan banyaknya media yang mulai tampil dengan nuansa yang sangat
islami. Kita dapat mengenal ada beberapa media yang tampak memiliki karakter
sebagai pers islam. Sebut saja medianya tersebut terdiri dari: Majalah Islam
Sabili, Majalah Ummi, Tabloid Suara Islam, Majalah Hidayatullah, Media On-Line
Era Muslim, Majalah Tarbawi, dan lain sebagainya.
Menurut
beberapa pengamat pers mengatakan bahwa pluralitas yang dihargai pers islam
memang berjalan dengan baik. Namun nampaknya tantangannya pun tidaklah mudah.
Banyak kalangan yang berupaya meyulut konflik, seakan-akan ingin menekan pluralitas
yang di hargai oleh pers islam. Hal itulah yang banyak di munculkan kalangan
islam liberal. Mereka menuduh Pers Islam menyuarakan fanatisme dan eklusivisme.
Dari segi penyajiannya, pers islam dipandang selalu menggunakan bahasa yang
cenderung provokatif, dan penjudulan berita yang bombastik. Selain itu, pers
Islam juga dituduh sebagai penyebar isu yang cenderung sensitive seperti yang
berkenaan dengan SARA (Suku, Ras dan Agama).
Keberhasilan
pers islam dalam menghargai pluralitas, tidak demikian dengan kenyataan pers
umum yang berkembang di Indonesia. Kenyataannya tidak sedikit pers umum yang
justru berupaya menyulut konflik terhadap umat Islam. Bukankah pers umumlah
yang selama ini sering melakukan stigmatisasi negatif terhadap islam?
Stigmatisasi negatif yang biasa muncul adalah mencitrakan gerakan Islam selalu
identik dengan terorisme, fasis, ektrimismis, dan berbagai macam symbol
kekerasan lainya. Jelaslah itu sangat berseberangan dengan nilai-nilai Islam
yang sebenaranya, yaitu Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil
alamin).
Persaingan industri media yang semakin ketat
mengharuskan media mencari kiat-kiat spesifik untuk dapat bertahan dan
memenangkan persaingan. Perkembangan media dewasa ini, memungkinkan terjadinya
persaingan ataupun perang media. Dan disini, peran pers Islam harus mampu
menandingi dan menetralisir segala kekeliruan yang dilakukan media lainnya.
Sebagai media dakwah, sudah semestinya pers Islam bersifat provokatif dan
melakukan agitasi-agitasi yang dapat mempengaruhi pembacanya dan ini dapat
dilakukan dalam berbagai cara serta pendekatan.
Namun realita di Indonesia, belum ada
pers Islam yang professional. Sehingga dibutuhkan upaya untuk membangun pers
Islam professional, artinya kegiatan redaksi pengelolaannya harus didasarkan
pada sistem manajemen professional. Selain itu Pers merupakan salah satu media
dakwah yang efektif di Indonesia. Maka, dalam pengemasannya pun harus benar-benar bisa diterima pembaca
yang notabene memiliki banyak pilihan untuk memilih media mana yang selayaknya
dikonsumsi. Dalam artian, pers Islam sebagai media dakwah harus bisa sedemikian
mungkin untuk menarik simpati pasarnya, dengan tentunya tidak melepaskan visi
dan misinya sebagai media dakwah.
Hingga saat ini, pers Islam tetap
berkiprah dengan semangat yang membara. Mereka terus bersuara lantang, dengan
landasan Islam. Menjadi pembela hak-hak rakyat yang terjajah, walaupun kerap
diintai ranjau undang-undang pers yang sewenang-wenang dan siap
membungkam. Namun nyatanya pers Islam tetap bergerak. Pers Islam tidak hanya
menjadi pembentuk opini untuk meninggikan kalimat Allah, tetapi juga menjadi
pembela agamanya. Pers Islam tidak pernah menanggalkan identitasnya, dan justru
karena identitas Islam itu, pers Islam tidak pernah tertinggal dalam setiap
peristiwa nasional yang mewarnai perjalanan bangsa ini. Mulai dari pembentukan
sebuah bayangan akan komunitas yang kelak bernama Indonesia, hingga melawan
penjajahan dan pendukung kemerdekaan. Pers Islam tidak hanya
berenang-renang ditepian, tapi ia terjun dipusaran perjalanan negeri kita.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Amir, Mafri. 1999. Etika Komunikasi Massa
dalam Pandangan Islam. Jakarta: PT Logos
Wacana Ilmu.
2.
Assegaf, Dja’far H. 1985. Jurnalistik Masa Kini : Pengantar Kepraktik Kewartawanan. Jakarta: Ghalia Indonesia
3.
Effendy, Onong Uchyana. 1995. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, cet. IX. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar